Mengajar sekolah minggu adalah pengalaman yang luar biasa. Pengalaman ini aku rasakan sejak diminta untuk terlibat mengajar sekolah minggu di gerejaku. Sebuah gereja kecil yang berada di sebuah desa dekat pegunungan kapur utara Jawa Tengah.
Pertama kali mengajar sekolah minggu sebenarnya bukan karena panggilan iman, tetapi karena terpaksa. Bagaimana tidak, karena waktu itu aku baru duduk di kelas 2 SMP, belum tahu apa-apa. Apalagi tidak ada yang mengajak dan membimbingku. Semua serba terpaksa, terpaksa aku lakukan karena aku prihatin, kadangkala guru yang mengajar sekolah minggu tidak datang tanpa pemberitahuan. Akibatnya, anak-anak sekolah minggu yang sudah dengan sukacita ke gereja ingin mendengarkan firman Tuhan jadi tidak bersemangat, liar dan mengalami kekecewaan.
Minimnya perhatian Majelis Gereja terhadap keadaan ini semakin membuatku prihatin, tidak ada sama sekali ide yang muncul untuk menjawab persoalan tersebut. Apakah itu kecenderungan pelayanan di gereja yang ada di desa, khususnya kepada kelas sekolah minggu?
Oleh karena situasi itulah, maka sekali lagi, aku terpaksa mengajar sekolah minggu. Aku paksakan diri untuk berani tampil di depan anak-anak dengan bekal seadanya. Untung setelah itu ada salah satu temen persekutuan yang mau membantu ikut mengajar sehingga bisa bergantian setiap minggunya. Sekalipun dengan bekal seadanya justru membantuku untuk berkembang secara pribadi.
Yang dimaksud berkembang adalah :
- Awalnya tidak berani tampil dimuka umum (khususnya anak-anak) karena biasa menjadi berani;
- Awalnya kalau cerita hanya membaca akhinya mulai lepas teks dan berupaya menghidupkan cerita-cerita Alkitab dengan beragam cara.
- Sampai yang awalnya tidak bisa memetik gitar, mulai belajar secara otodidak memainkan gitar untuk mengiringi pujian di sekolah minggu. Aku masih ingat doaku waktu itu: "Tuhan aku ingin bisa belajar memainkan gitar supaya aku bisa mengiringi pujian sekolah minggu"
Oleh karena ketertarikanku itu yang akhirnya menumbuhkan rasa rinduku pula untuk selalu berusaha dapat mengajar, membantu mendampingi guru lain bahkan sampai aku kuliah di Teologi, hampir dua minggu sekali aku sempatkan untuk pulang ke rumah hanya untuk mengajar sekolah minggu.
Apakah aku pernah mengalami lelah( lelah bukan arti fisik tetapi hati dan pikiran, cenderung bosan)? PERNAH!. Namun demikian justru aku merasa bersalah jika aku tidak bisa mengajar atau sengaja tidak mau mengajar.
Sekarang aku telah menjadi Pendeta jemaat di sebuah gereja disebelah utara kota Solo, tetapi kerinduanku untuk mengajar tidak pernah aku pupus. Bahkan kalau tidak ada jadwal berkotbah, aku selalu meminta guru sekolah minggu untuk ikut mengajar. Sekalipun ada rekan pendeta yang pernah bilang : pendeta kok masih ngajar sekolah minggu...tetapi justru aku bisa bilang bahwa pendeta yang baik adalah pendeta yang tidak hanya berkotbah di atas mimbar gereja tetapi juga bisa berkotbah depan anak-anak sekolah minggu. Karena seorang pendeta harus mau meneladan kristus, yang disegani dan dihormati ketika mengajar di mimbar umum, tetapi juga disayangi oleh anak-anak ketika bercerita didepan anak-anak.
Makanya sampai sekarang sekalipun aku telah menjadi Pendeta, aku selalu berusaha untuk menyempatkan waktu mempersiapkan bahan pengajaran dan mengajar sekolah minggu. Satu hal yang selalu membuatku bersukacita ketika mengajar sekolah minggu, aku mendapatkan sukacita didunia anak dan bersukacita karena anak-anak dapat mengenal Tuhan Yesus melalui aku. Makanya bagi siapapun yang saat ini masih mau mengajar sekolah minggu : "Jangan lelah mengajar sekolah minggu."